BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Daerah Kajang juga terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang merekayakini.
Saya memasukkan tulisan kelompok pkn saya karena saya ingin berbagi pengetahuan dengan teman-teman yang lain. Ini merupakan tugas kelompok dari guru PKN saya. semoga setelah membaca blog ini kalian bisa mendapatkan pengetahuan lebih yang lebih. amin.. O:) :)
Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional, yang terletak di Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur kota Makassar. Daerah kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun perlu diketahui, kajang di bagi dua secara geografis, yaitu kajang dalam (suku kajang, mereka disebut “tau kajang”) dan kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka disebut “orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka disebut “tau lembang”). Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi seperti listrik, berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima peradaban, itulah sebabnya di daerah kajang dalam tidak ada listrik bukan hanya itu apabila kita ingin masuk ke daerah kawasan ammatoa (kajang dalam) kita tidak boleh memakai sandal hal ini dikarenakan oleh sandal yang dibuat dari teknologi. Bukan hanya itu bentuk rumah kajang dalam dan kajang luar sangat berbeda. Di kajang luar dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam (kawasan ammatoa) yang menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan. Hal ini dikarenakan pada zaman perang prajurit kajang sering masuk kerumah penduduk untuk mencari makan itulah sebabnya dapur dan tempat buang air kecilnya ditempatkan didepan rumah bukan hanya itu agar prajurit juga tidak melihat anak dari pemilik rumah karena prajurit beranggapan apapun yamg berada di dalam rumah itu adalah miliknya.
Daerah Kajang juga terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang merekayakini.
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental
akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus
berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai
bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak
ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua
hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi
setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir,
menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga
keasliannnya sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu, kami membuat
makalah ini untuk meneliti kehidupan di salah satu desa yang ada di kajang
yaitu desa Lem’banna.
B.
PERMASALAHAN
1.
Bagaimanakah
sejarah singkat suku kajang?
2.
Dimana letak
suku kajang?
3.
Jelaskan tentang
rumah adat suku kajang!
4.
Jelaskan
tentang pakaian adat suku kajang!
5.
Jelaskan adat
suku kajang!
6.
Apa saja
tempat wisata yang terdapat?
7.
Bagiman
bahasa daerahnya?
8.
Bagaimana
alat music suku kajang?
9.
Jelaskan
tarian derahnya!
10. Bagaimana lagu daerahnya?
11. Apa semboyan dan pepatahnya?
12. Apa mitos-mitos suku
kajang?
13. Jelaskan tentang
makanan khas suku kajang!
BAB
II PEMBAHASAN
II.1 SEJARAH SINGKAT SUKU KAJANG
Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar
oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup
Suku Kajangatau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoadalam melestarikan kawasan hutannya
seolah-olah memberi secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam.
Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,
mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya
tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan
Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan
hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan
seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).
Gapura untuk memasuki kawasan adat Ammatoa Suku Kajang
Secara geografis dan administratif, masyarakat
adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang
Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji,
Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan.
Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli
di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah
Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di
hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan
Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa
Batu Lohe (Aziz, 2008).
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di
kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa.
Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu
yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak
negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya
alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian
disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).
II.2 LETAK SUKU KAJANG
Masyarakat adat suku Kajang terletak di Kabupaten Bulukumba,
provinsi Sulawesi Selatan. Bulukumba merupakan sebuah kabupaten yang berada di
‘kaki’ Pulau Sulawesi, kurang lebih 200 km arah selatan Kota Makassar, ibukota
provinsi Sulawesi Selatan.
II.3 RUMAH ADAT SUKU KAJANG
Rumah
adat suku Kajang berbentuk rumah panggung, tak jauh beda bentuknya dengan rumah
adat suku Bugis-Makassar. Bedanya, setiap rumah dibangun menghadap ke arah
barat. Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu
memberikan berkah.\
II.4 PAKAIAN ADAT SUKU KAJANG\
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan
kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna
hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk
persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada
warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam
adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap
orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi
keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya
sebagai sumber kehidupan. Oleh karena
II.5 ADAT SUKU KAJANG
ADAT PERKAWINAN
Dalam hal perkawinan, masyarakat adat Kajang
terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan
adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian
bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang
berlaku di dalam kawasan adat. Hal tabu lainnya adalah memasukkan barang-barang
buatan manusia yang tinggal di luar kawasan adat serta pengaruh maupun
bentuk-bentuk lainnya ke dalam kawasan adat (Adhan, 2005: 283)
II.6 TEMPAT WISATA
Tanah adat Kajang dengan budayanya
yang khas menjadi tempat wisata di Kab.Bulukumba. Pusat kegiatan komunitas suku Kajang berada di
Dusun Benteng, yang ditandai dengan kehadiran rumah Ammatoa, sang pemimpin adat yang selalu didatangi oleh
para pengunjung untuk mempelajari tentang suku kajang.
II.7 BAHASA DAERAH SUKU KAJANG
Bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Kajang adalah Bahasa
Makassar yang berdialek Konjo.
II.8 ALAT MUSIK SUKU KAJANG
Dua buah alat musik Basing yang merupakan sebuah alat musik tiup dari bambu menyerupai suling. Musik Basing ini biasa ditampilkan setelah upacara pemakaman pada suku Kajang di Sulawesi Selatan. Dokumentasi ini dibuat pada rangkaian kegiatan rekaman Program Seri Musik Indonesia Volume 18 "Sulawesi: Musik untuk Festival; Pemakaman dan Iringan Kerja" di Dusun Janaya Desa Tana Toa Kec. Kajang Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan September 1996. Produksi ini menghasilkan audio dalam bentuk CD dan kaset yang diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia bekerjasama dengan Simthsonian Institution.
Dua buah alat musik Basing yang merupakan sebuah alat musik tiup dari bambu menyerupai suling. Musik Basing ini biasa ditampilkan setelah upacara pemakaman pada suku Kajang di Sulawesi Selatan. Dokumentasi ini dibuat pada rangkaian kegiatan rekaman Program Seri Musik Indonesia Volume 18 "Sulawesi: Musik untuk Festival; Pemakaman dan Iringan Kerja" di Dusun Janaya Desa Tana Toa Kec. Kajang Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan September 1996. Produksi ini menghasilkan audio dalam bentuk CD dan kaset yang diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia bekerjasama dengan Simthsonian Institution.
II.9 TARIAN SUKU KAJANG
Pabitte Passapu
Pabitte Passapu
Tarian ini merupakan pesta adat Suku Kajang. Ini
adalah tradisi Suku Kajang, yaitu mengadu ikat kepala.
II.10 SEMBOYAN DAN
PEPATAH SUKU KAJANG
·
Kamase-mase yaitu
kesederhanaan
II.11 MITOS SUKU
KAJANG
·
Jika ada orang luar
yang masuk ke dalam wilayah suku kajang, serta tidak meminta izin lalu
melakukan hal-hal yang tidak wajar maka akan di kenakan doti pada orang
tersebut. Doti semacam bacaan yang dapat menimbulkan kematian.
·
Menurut mitos di
sana, burung kajang adalah cikal bakal manusia yang dikendarai oleh To Manurung
sebagai Ammatoa maka dari itulah daerah
tersebut disebut dengan “SUKU KAJANG”
·
Larangan membuat
rumah dengan bahan bakunya adalah batu bata. Menurut pasang hal ini
adalahpantang karena hanya orang mati yang berada didalam liang lahat yang
diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya
masih hidup namun secara prisip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa
kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.
II.12 MAKANAN KHAS
SUKU KAJANG
Salah satu makanan khas suku
kajang ialah nasi dengan empat
warna. Delapan buah sesaji yang telah dipersiapkan mulai
disusun di bilik di tepi sawah. Sesaji berupa nasi empat warna, lauk pauk,
buah-buahan ini diberkati oleh Ammatowa dalam upacara Rumatang.
Pada upacara adat makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat
tertentu. Nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras
inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang
dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras
khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo"
BAB III PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Suku Kajang merupakan
suku yang masih memegang teguh ritual adatnya hingga saat ini. Meskipun
sekarang sudah banyak suku pedalaman yang meninggalkan ritual adatnya. Suku
kajang juga merupakan suku yang sangat tidak bisa menerima perubahan meskipun
hanya sedikit. Mereka menganggap perubahan itu melanggar hukum adat yang di
buat oleh nenek moyang mereka.
Suku unik, alami,
sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lain-lain,
menjadikan kajang adalah salah satu faforit wisata budaya. Salah satunya yang
membuat terhambatnya wisata kesana adalah, ketakukan orang luar memasuki
kajang. Karena mendengar orang kajang sendiri orang akan takut akan “dotinya”,
semacam sihir dan kekuatan ghaib yang bisa mematikan. Selain itu, “tau kajang”
sendiri agak tertutup dengan orang-orang luar.
III.2 SARAN
·
Sebagai warga
masyarakat Sulawesi selatan, kita harus melestarikan budaya suku kajang ini.
·
Masyarak suku kajang
harus tetap menjaga apapun yang telah di sediakan tuhan di dalam alam
·
Dengan megetahui
kebiasaan suku kajang yang sangat sederhana, kita juga tidakboleh serakah pada
alam
Salam kenal...
BalasHapusAda satu perkataan lama dari suku Kajang yg perlu dibetulin serta ertinya.
Bisa kah anda bantu?